BUDAYA BLUSUKAN DAN FAMILISME DALAM DEMOKRASI LOKAL (STUDI PEMILIHAN WALIKOTA SURAKARTA TAHUN 2020)
DOI:
https://doi.org/10.1529/kp.v1i3.52Keywords:
Blusukan, Familisme, Demokrasi lokal, Pemilihan WalikotaAbstract
Penelitian ini mendeskripsikan budaya blusukan sebagai strategi yang dilakukan pasangan Gibran-Teguh yang berhasil memenangkan Pemilihan Walikota (Pilwakot) Surakarta tahun 2020. Blusukan merupakan simbol tradisi identitas budaya Jawa yang diartikan suatu perilaku keluar masuk suatu tempat, sekedar mengenali kondisi secara alamiah, hingga sebutan bagi seseorang yang melakukan perjalanan ke tempat-tempat dimana masalah belum terungkap. Semenjak tradisi ini digunakan oleh para kandidat dalam kampanye, maka blusukan lebih dimaknai secara politis sebagai salah satu strategi kampanye untuk memperkenalkan diri kepada publik, menyampaikan visi dan misi, serta mempengaruhi pilihan masyarakat. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian di Kota Surakarta. Fokus pembahasan mengaitkan blusukan dan familisme pada Pilwakot Surakarta tahun 2020. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling. Data penelitian dikumpulkan melalui wawancara dan dokumentasi serta diuji validitasnya dengan menggunakan triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan, blusukan yang dilakukan pasangan Gibran-Teguh mengadopsi strategi Jokowi pada konstestasi Pilkada Surakarta dan Pilpres. Inovasi baru berupa blusukan digital terbukti menjadi strategi kampanye efektif bagi masyarakat Surakarta yang masih kental dengan pola komunikasi interpersonal selain faktor familisme. Menguatnya dinasti politik mengindikasikan perlunya pembenahan proses rekruitmen politik sekaligus partisipasi publik dalam mengawal Pilkada agar berjalan jujur, adil, dan berintegritas.